Selama ini, matematika sering dianggap sebagai pelajaran yang kaku, penuh angka, dan jauh dari kehidupan nyata. Banyak siswa SMA merasa takut dan kehilangan motivasi ketika berhadapan dengan rumus dan simbol yang tampak tidak ada kaitannya dengan dunia mereka. Padahal, dalam pandangan contextual learning, belajar akan lebih bermakna jika dikaitkan dengan pengalaman hidup dan lingkungan sekitar. Dari situlah, gagasan "Numerasi Batak" lahir sebagai sebuah upaya menghadirkan pembelajaran matematika yang lebih kontekstual, mendalam, dan berakar pada budaya lokal.
Sumber:
Dokumentasi Pribadi
Sebagai
guru matematika di SMA Negeri 7 Medan, saya melihat potensi besar yang selama
ini terabaikan. Di Sumatera Utara, kita dikelilingi oleh warisan budaya yang
kaya, seperti motif ulos, ukiran gorga, dan arsitektur Rumah Bolon. Ketiganya
ternyata menyimpan pola-pola matematis yang menarik: simetri, pengulangan,
proporsi, hingga konsep barisan dan deret. Sayangnya, potensi ini jarang
dimanfaatkan dalam pembelajaran di kelas. Di sisi lain, perkembangan teknologi
digital seperti Artificial Intelligence (AI), Augmented Reality (AR), dan
Google Site membuka peluang baru untuk menjadikan pembelajaran matematika lebih
hidup dan relevan dengan zaman.
Dari
kombinasi antara budaya lokal dan teknologi digital inilah lahir praktik baik
bertajuk "Numerasi Batak: Melestarikan Ulos, Gorga, dan Rumah Bolon pada
Matematika melalui PA3 (Pembelajaran Mendalam melalui Pemanfaatan Aplikasi
Pembelajaran Digital, Artificial Intelligence, dan Augmented Reality)."
Program ini berupaya menumbuhkan pemahaman konsep, meningkatkan literasi
numerasi, sekaligus menanamkan kebanggaan terhadap budaya Batak di kalangan
siswa.
Situasi
Awal: Matematika yang Jauh dari Kehidupan Nyata
Kelas XI
yang saya ampu terdiri dari beragam karakter siswa. Berdasarkan hasil asesmen
awal, sebagian besar siswa menyukai teknologi digital, tetapi merasa matematika
tidak menarik. Mereka menganggap matematika sebagai pelajaran abstrak yang
sulit dipahami. Pembelajaran yang selama ini masih berpusat pada buku teks dan
papan tulis membuat siswa kurang aktif dan tidak mengalami proses berpikir
mendalam. Akibatnya, kemampuan literasi numerasi mereka rendah; ketika
diberikan soal kontekstual, mereka kesulitan menerjemahkan masalah ke dalam
bentuk model matematika.
Padahal,
di sekitar mereka, budaya Batak menyimpan banyak nilai numerasi yang dapat
diangkat dalam pembelajaran. Motif ulos misalnya, mengandung pola geometri
berulang yang dapat dikaitkan dengan konsep barisan. Ukiran gorga memiliki
keseimbangan simetri dan proporsi yang dapat dianalisis secara matematis.
Melalui penggabungan unsur budaya dan teknologi digital, saya ingin membawa
siswa keluar dari kebiasaan belajar yang pasif menuju pembelajaran mendalam
yang aktif, reflektif, dan kolaboratif.
Tantangan
dan Kolaborasi
Tantangan
utama dalam pelaksanaan praktik ini adalah bagaimana menghubungkan konsep
matematika dengan kehidupan nyata melalui konteks budaya, sekaligus
mengintegrasikan teknologi modern dalam proses belajar. Saya harus memastikan
bahwa pembelajaran bukan hanya menarik, tetapi juga membangun kemampuan
berpikir kritis, kreatif, dan kolaboratif siswa.
Untuk
mewujudkan hal ini, saya berkolaborasi dengan berbagai pihak: kepala sekolah
dan rekan sejawat di SMAN 7 Medan, komunitas belajar GB3 Sumatera Utara, dan
Komunitas BERGEMA Kemendikdasmen. Orang tua juga dilibatkan sebagai mitra
refleksi dan evaluasi proses belajar anak. Dengan dukungan ini, pembelajaran
menjadi lebih terbuka, kolaboratif, dan berkelanjutan.
Aksi: Menyatukan Matematika, Budaya, dan
Teknologi
Langkah pembelajaran menggunakan model
Project Based Learning (PjBL) dengan dukungan pendekatan Deep Learning.
Prosesnya dibagi dalam tiga tahap utama: sebelum, selama, dan sesudah
pembelajaran.
1. Sebelum Pembelajaran
Siswa menjalani tes awal kognitif dan
nonkognitif untuk memetakan minat, kemampuan, serta kebutuhan belajar mereka.
Dari data tersebut, guru menyiapkan perencanaan pembelajaran meliputi:
- Modul
ajar dan LKPD digital,
- Materi dalam Google Site interaktif,
- Tes
formatif melalui Google Form,
- Analisis pola menggunakan AI Vision,
- Eksplorasi
Augmented Reality melalui aplikasi Assembler Edu,
- Refleksi
di Padlet.
Dengan
sistem ini, pembelajaran tidak lagi terbatas di ruang kelas; siswa bisa belajar
kapan saja dan di mana saja melalui media digital.
2.
Pelaksanaan Pembelajaran
Kegiatan
dimulai dengan eksplorasi budaya lokal. Saya menampilkan gambar-gambar ulos,
gorga, dan rumah adat Batak, lalu mengajak siswa berdiskusi: motif mana yang
berulang? Apakah ada pola simetri? Bagaimana jika dilihat dari sudut pandang
matematika?
Pertanyaan
sederhana ini menjadi pintu masuk pembelajaran mendalam. Siswa mulai menyadari
bahwa matematika sebenarnya melekat dalam budaya mereka sendiri. Dari
pengamatan ini, siswa diajak mengidentifikasi pola dan menghubungkannya dengan
konsep barisan dan deret.
Selanjutnya,
mereka bekerja dalam kelompok dan mengunggah gambar motif ulos atau gorga ke
aplikasi AI Vision. Aplikasi tersebut menganalisis pola-pola berulang dan
simetri secara otomatis. Hasilnya menjadi bahan diskusi untuk menentukan bentuk
barisan aritmetika yang sesuai. Melalui proses ini, siswa belajar menerapkan
matematika dalam konteks nyata, bukan sekadar menghafal rumus.
Tidak
berhenti di situ, siswa kemudian menggunakan Assembler Edu untuk menampilkan
motif tersebut dalam bentuk tiga dimensi (AR). Mereka dapat memutar,
memperbesar, dan mengamati struktur matematis dengan lebih jelas. Pengalaman
belajar menjadi lebih imersif --- mereka tidak hanya melihat gambar, tetapi
"merasakan" bentuk matematika di dalam budaya Batak.
Sebagai
puncak kegiatan, setiap kelompok membuat proyek sederhana berupa Katalog
Digital Pola Matematika dalam Budaya Lokal. Katalog ini berisi hasil analisis
AI, refleksi budaya, dan keterkaitan pola dengan konsep barisan dan deret. Produk
tersebut diunggah ke Google Site kelas dan dapat diakses oleh teman, guru,
bahkan orang tua.
3. Setelah Pembelajaran
Guru menilai hasil belajar dengan rubrik
proses dan produk. Siswa juga mengikuti tes formatif dan refleksi individu.
Orang tua dilibatkan untuk meninjau hasil belajar anak dan berdiskusi mengenai
rencana tindak lanjut. Di tahap akhir, praktik baik ini dibagikan ke komunitas
guru agar dapat diadaptasi dan dikembangkan di sekolah lain.
Hasil dan Dampak
Setelah penerapan program Numerasi Batak,
terjadi perubahan yang signifikan pada siswa. Mereka menjadi lebih aktif,
percaya diri, dan kreatif. Nilai rata-rata hasil belajar meningkat dari 45
menjadi 88. Lebih dari sekadar angka, peningkatan ini mencerminkan pemahaman
yang lebih mendalam terhadap konsep matematika.
Siswa
kini mampu membaca pola, membuat model matematika, dan menafsirkan hasil
analisisnya sendiri. Mereka tidak lagi sekadar menghafal rumus, melainkan
benar-benar memahami makna di baliknya. Lebih dari itu, kebanggaan terhadap
budaya lokal meningkat pesat. Banyak siswa merasa bangga karena bisa memadukan
teknologi modern seperti AI dan AR dengan warisan budaya leluhur.
Rekan sejawat juga menunjukkan minat tinggi
untuk mencoba pendekatan serupa di kelas masing-masing. Mereka melihat bahwa
teknologi bukan pengganti guru, melainkan sarana untuk memperkaya pembelajaran.
Sementara itu, orang tua merasa senang melihat anak-anaknya lebih semangat
belajar dan mampu menjelaskan konsep matematika melalui contoh budaya yang
akrab bagi keluarga.
Refleksi dan Pembelajaran
Dari pengalaman ini, saya belajar bahwa
kunci keberhasilan pembelajaran terletak pada keberanian untuk berinovasi dan
berkolaborasi. Menggabungkan budaya lokal dengan teknologi digital ternyata
bukan hal yang mustahil. Justru di situlah letak kekuatan pendidikan masa kini
yaitu menghargai akar budaya sambil menatap masa depan dengan teknologi.
Pembelajaran mendalam bukan hanya tentang
pemahaman kognitif, tetapi juga tentang pengalaman emosional dan sosial yang
membentuk karakter siswa. Ketika siswa merasa bahwa pelajaran memiliki makna
dan relevansi dengan kehidupan mereka, semangat belajar tumbuh secara alami. Integrasi AI, AR, dan platform digital seperti Google
Site membuka ruang bagi siswa untuk bereksplorasi, berpikir kritis, dan
berkolaborasi secara mandiri.
Selain
itu, praktik ini menunjukkan bahwa literasi numerasi tidak dapat diajarkan
secara terpisah dari konteks budaya dan kehidupan nyata. Dalam setiap garis
ulos atau ukiran gorga, tersimpan logika matematis dan filosofi hidup yang bisa
memperkaya pembelajaran. Dengan pendekatan yang tepat, matematika dapat menjadi
jembatan antara tradisi dan inovasi.
Penutup
Praktik
Numerasi Batak membuktikan bahwa pembelajaran matematika dapat menjadi lebih
dari sekadar hitungan dan rumus. Ia bisa menjadi sarana pelestarian budaya,
pengembangan keterampilan digital, dan pembentukan karakter generasi muda yang
bangga terhadap identitasnya. Integrasi budaya dan teknologi bukan hanya
membuat pembelajaran menarik, tetapi juga menumbuhkan kesadaran bahwa ilmu
pengetahuan modern berakar pada kearifan lokal.
Sebagai guru, saya percaya bahwa setiap budaya memiliki nilai numerasi yang bisa dieksplorasi. Tantangan kita adalah menemukan cara untuk mengaitkan nilai-nilai itu dengan pembelajaran yang relevan di abad ke-21. Dengan semangat kolaboratif dan pola pikir bertumbuh, guru-guru Indonesia dapat terus berinovasi agar pendidikan menjadi lebih bermakna, tidak hanya untuk masa kini, tetapi juga untuk masa depan bangsa.



إرسال تعليق